Sekolah seharusnya slot menjadi tempat berkembangnya potensi anak secara utuh, bukan sekadar ruang penghasil nilai akademik yang kaku. Sayangnya, di banyak tempat, sistem pendidikan masih terlalu fokus pada target, skor ujian, dan standar seragam yang mengabaikan sisi kemanusiaan siswa. Akibatnya, sekolah terlihat seperti pabrik pencetak robot yang hanya mengejar hasil, bukan proses.
Anak-anak datang ke sekolah dengan berbagai latar belakang, minat, dan kemampuan. Namun, saat kurikulum disusun dengan pendekatan seragam dan tekanan berlebih, kreativitas dan identitas unik mereka bisa tergerus. Dalam jangka panjang, sistem seperti ini dapat menciptakan generasi yang kehilangan arah karena terlalu dibentuk oleh ekspektasi luar, bukan eksplorasi diri.
Baca juga: Gagal Jadi Juara Kelas? Mungkin Itu Awal Kamu Menemukan Jati Diri
Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membatasi. Anak perlu belajar berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengenali siapa diri mereka sebenarnya. Bukan sekadar menyalin rumus dan mengejar nilai tinggi demi rapor. Mereka butuh ruang untuk bertanya, bereksperimen, dan belajar dari kegagalan.
Berikut beberapa ciri sistem pendidikan yang terlalu mekanis:
-
Fokus utama hanya pada pencapaian nilai akademik tanpa mempertimbangkan kecerdasan emosional atau sosial.
-
Kurikulum terlalu padat dan minim fleksibilitas bagi siswa untuk memilih sesuai minat.
-
Guru lebih berperan sebagai pengawas ketimbang fasilitator proses belajar.
-
Tidak ada ruang untuk kesalahan, padahal gagal adalah bagian penting dari pembelajaran.
-
Penilaian bersifat satu dimensi, hanya berdasarkan ujian tertulis atau tugas standar.
Jika sekolah terus berjalan seperti jalur perakitan di pabrik, kita harus bertanya kembali: untuk siapa sistem ini dibuat? Pendidikan sejatinya adalah tentang manusia, bukan produksi massal. Sudah saatnya kita membangun sekolah yang melihat siswa sebagai individu yang utuh—dengan impian, rasa ingin tahu, dan potensi yang berbeda-beda.